Friday, April 18, 2014

MEMENTO MORI


Apakah nisan selalu bermakna horor? 

Gejolak pertanyaan ini yang sering timbul ketika saya hadir di kompleks pemakaman, biasanya pada musim ziarah atau hadir untuk memberikan penghormatan terakhir pada upacara pemakaman anggota keluarga/kenalan. 

Deretan batu nisan yang berjejer rapi, diantara pohon yang teduh seolah memiliki arti lain bagi saya, yang (kebetulan beruntung) masih hidup. Tidak semata memancing bulu kuduk merinding ngeri. 

Nisan biasanya tak bisa lepas dari makam dan makam identik dengan kematian. Nisan tanpa makam dan jauh rasa gelisah tentang kematian, mungkin hanya bisa dilihat pada kios-kios pemahat/pengrajin batu nisan yang siap menerima pesanan nisan dengan segala bentuk dan ukurannya. 

Nisan menjadi penanda dari sebuah wadah bagi jasad (biasanya manusia) yang akan membusuk, mengurai dan puncaknya menyatu menjadi tanah. Jadi mirip depot recycle yang mengubah sampah menjadi pupuk kompos. Tapi mungkin manusia keberatan kalau disebut begini, karena diantara semua makhluk, (kita yakin) manusia adalah makhluk termulia. 

Pada nisan biasanya diberi informasi. Ada nama, tempat tanggal lahir, atau waktu meninggal. Tak pernah kita membaca daftar hutang yang pernah dibuat oleh si almarhum saat masih hidup, atau daftar kekayaan yang berhasil dikumpulkannya semasa hidup. Di pahatan batu nisan, hidup terasa sederhana. 

Bagi saya memandangi jejeran batu nisan juga seperti sebuah isyarat. 

Di gerbang masuk kompleks pemakaman Pastor Jesuit di Girisonta, Semarang, terpampang dua buah kata dari Bahasa Latin, “Memento Mori”, yang artinya ingatlah akan kematianmu. 

Batu nisan juga pertanda adanya ketidakkekalan. Bahwa kelak, kehidupan ini kelak harus berhenti atau dihentikan. Tak ada yang langgeng. 

Saya pernah mendengar satu kisah tentang seorang panglima perang zaman Romawi, yang selalu membawa seorang ajudan. Tugas ajudan ini sangat sederhana. Bilamana sang panglima perang memenangkan pertempuran, sang ajudan membisikkan ‘memento mori” ke telinga panglima. Dan panglima seolah kembali ditarik pada satu kesadaran bahwa kematian itu sungguh dekat dan setia. 

Bisikan ini menjadi semacam pencerahan bagi sang panglima, bahwa setiap kemenangan bukanlah kemenangan sejati, karena kemenangan terbesar sekalipun tetap akan tunduk pada kematian. Mungkin begitu inti kisah tersebut. 

Tapi hidup tak selamanya membutuhkan penanda kematian… 

Sewaktu masih kanak-kanak, saya pernah membaca biografi komponis Austria terkenal yang dianggap jenius sejak usia lima tahun, Wolfgang Amadeus Mozart (1756-1791). Yang buat saya terkesima bukan karya-karyanya, melainkan akhir kisah hidupnya yang tragis. 

Mozart meninggal dalam usia muda. Menjelang detik-detik ajalnya, ia menggarap komposisi Requiem, misa kematian, yang dipesan seorang laki-laki misterius, yang justru tak pernah datang menagih karya tersebut. Karya tersebut tak pernah selesai, ketika Mozart menghembuskan nafas terakhirnya. 

Misa kematian itu juga yang mengiringi persemayaman jasadnya saat itu. 

Proses pemakaman Mozart adalah pemakaman yang menyedihkan. Sang isteri yang juga tengah sakit, tidak bisa mengantar jasad sang suami untuk terakhir kali. 
Peti matinya diusung oleh para pesuruh di tengah cuaca buruk, untuk dimakamkan di kompleks pemakaman umum biasa. Upacara penguburan begitu saja dan selesai. 

Selang beberapa waktu kemudian, tak ada yang ingat lagi tentang letak persis makam Mozart. Mungkin terhimpit dengan makam-makam baru. Dan sampai kini makamnya tak pernah jelas lokasinya. Tapi tanpa nisan, Mozart masih dikenang..

Di Indonesia, kita mengenal Sjudanco Suprijadi (menteri pertahanan & keamanan pertama RI), pemimpin PETA yang memberontak kepada Jepang atau Otto Iskandar Dinata, tokoh nasionalis asal Banten. Keduanya dipastikan telah meninggal dengan jasad yang juga tak jelas dimana berada. Tiada makam, hanya serpihan kenangan yang makin tercerai berai seiring dengan berlalunya waktu. Dan sejarah mencatat, Suprijadi dan Otto Iskandar Dinata dikenang sebagai patriot.

Mereka yang berkarya tak butuh nisan. Karya yang dihasilkan adalah nisan yang abadi, langgeng dan masih diperbincangkan ketimbang menjadi nisan yang perlahan tua, pudar dan tertimbun dalam semak belukar, terlupakan ! 

Namun pernah pula terdengar kisah unik. Tentang seorang tokoh kaya yang meninggal, sesuai amanatnya, lantas dalam proses pemakamannya diberangkatkan tujuh peti mati sekaligus, yang mana hanya satu yang berisi jasad. Demikan pula lokasi pemakamannya, disiapkan tujuh liang lahat, tujuh nisan berikut makamnya. 

Tak ada yang tahu persis dalam liang mana yang benar-benar berisi jasad. Alhasil, keluarga atau kerabat yang kepingin berziarah, ketujuh makam ini harus disambangi satu persatu. Si juragan kaya mungkin punya rasa humor yang bagus atau juga kepingin memproduksi mitos, bahwa kematian tak selamanya horor tapi juga jahil. 

Nah kalau seperti ini, penting atau tidaknya nisan, menjadi relatif. Tapi bukannya hidup ini juga penuh dengan hal-hal yang relatif? 

Mungkin yang tak relatif adalah sakratul maut. Maka, selalulah untuk mengingat bahwa kita kelak akan mati. Sebagaimana pesan terkenal pemikir ekonomi Inggris, John Maynard Keynes (1883-1946), in the long run – we are all dead

Memento mori, ingatlah kematianmu…..



CINTA


Benarkah cinta membuat manusia ingin terlihat sempurna?
Saya punya seorang teman cowok yang sedang terkena panah Dewi Amor. Rupa-rupanya ia lagi kepincut dan tengah menjalin hubungan dengan seorang gadis manis.
Serentetan perubahan pun terjadi. Teman yang tadinya suka mood-moodan dalam melakukan mengerjakan sesuatu, mendadak rajin dan terlihat tangguh. Ia setia menemani dan siaga memberikan fasilitas ‘antar jemput’ untuk sang gadis idaman. Hujan diterobos, terik pun diabaikan. Meski jadi sering masuk angin, teman saya berkilah - katanya ini merupakan satu bentuk pengorbanan. Wow!

Thursday, April 17, 2014

IMAJINASI

Adakah yang menakutkan dari sebuah imajinasi?


Mungkin pertanyaan ini juga akan terlontar ketika kita melihat bentangan kalimat yang berbunyi “tertawalah sebelum tertawa itu dilarang” yang kerap tampil dalam opening film-film komedi  layar lebar yang dibintangi Warkop DKI pada era 80-90an.  Adakah yang menakutkan dari sebuah kelucuan?

Saturday, April 5, 2014

KEGELISAHAN DAN GUGATAN…


Manusia boleh dikatakan makhluk yang super aneh. Dengan keberadaannya sebagai makhluk yang (katanya) berakal budi, ia justru kerap menggugat keberadaannya tersebut, justru dengan menngunakan akal budi yang dimilikinya tersebut. 
Awal tahun 60-an, Robert Zimmerman, atau lebih terkenal sebagai Bob Dylan menghentak dunia melalui karya musik folk-nya yang berjudul  Blowin’ in the Wind.  Sembari memetik senar pada gitar kopong dan kadang menyelinginya dengan tiupan harmonika yang tergantung di dada, ia dengan lirih mempertanyakan semacam kegelisahan dalam dirinya:  How many roads must a man walk down, before you call him a man? seberapa banyak jalan yang harus ditempuh sehingga seseorang dapat kamu sebut sebagai laki-laki?
Apakah menjadi laki-laki sangat tergantung pada seberapa jauh ia menapakinya? Akh, anggap saja Dylan lagi galau…
Pertanyaan yang gelisah ini pula yang kemudian menyeret filsuf Socrates pada akhir hidup  yang tragis. Konon, Socrates punya sifat yang unik. Ia kerap mengajukan pertanyaan tentang apa “hal yang benar” dan “hal yang baik”, pada setiap orang yang dijumpainya di jalan. Mungkin, sebagai seorang yang cinta kepada kebijaksanaan, Socrates melihat apa yang yang ada di sekitarnya bukan sebuah tanda titik, tetapi penuh dengan kemungkinan-kemungkinan yang bisa berubah, dinilai, lalu digugat, dari sudut pandang moralitas sebagai manusia.
Ternyata apa yang dilakukan Socrates, diam-diam  menjadi menakutkan bagi penguasa. Mungkin, para penguasa khawatir, kemapanan akan goyah bila terus digerogoti dengan pertanyaan-pertanyaan yang membuat orang-orang berpikir dan (takutnya) menjadi kritis. Kekuasaan tak membutuhkan dunia yang dinamis, dimana pemikiran yang satu akan dipertimbangkan oleh pemikiran yang lain. Kekuasaan itu menuntut kepatuhan dan kepatuhan dalam bentuk riel (mungkn menurut kaum penguasa) adalah diam.
Maka secara rahasia disusun sebuah skenario jahat dimana Socrates ditangkap, diadili, dan kemudian dihukum mati oleh penguasa Yunani kuno. Ia harus meminum cawan yang berisi racun. Kita tahu Socrates akhirnya mati. Apakah penguasa bergembira secara kekal akan kematiannya? Kita tahu, murid Socrates bernama Plato, kemudian meneruskan pemikiran gurunya tersebut. 
Menjadi manusia memang unik.  Dalam eksistensinya, ia meragu. Ia mencari dan terus mencari, entah sampai kappa. Sungguh sebuah dunia yang paradoks. Tak heran Rene Descartes menyelutuk, cogito ergo sum, aku berpikir maka aku ada. Manusia yang berpikirlah, yang (justru) merasakan eksistensinya. 
Namun banyak berpikir, bertanya, dan menggugat juga bukan pilihan yang nikmat bagi sebagian orang. Sehingga penyair Amerika Latin, Pablo Neruda, mengeluh dalam satu syairnya: sucede que me canso de ser hombre, kok aku lelah menjadi manusia?
Mungkin karena ini pula, Dylan cepat-cepat mengakhiri kegelisahannya dalam Blowin in the wind dengan menutupnya melalui  kalimat: the answer my friend, is blowing in the wind, the answer is blowing in the wind… (Jawabnya, sahabat, berhembus bersama angin, ya, berhembus bersama angin)..
Atau bak kata Ebiet G. Ade, tanyakan saja pada rumput yang bergoyang….



Friday, April 4, 2014

HIDUP ENAK DAN SEENAKNYA


Ketika semua ingin enak dan seenaknya, lantas apa yang akan terjadi? Dunia mungkin terlalu lelah untuk menanggapi penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan manusia selama ini . 



Pernahkah kita pernah mendengar Zaman Kaliyuga? Dikisahkan bahwa pada zaman ini kekerasan, kejahatan, dan kemunafikan mendapat panggung yang sentral, sementara kebajikan semakin terlupakan. Dan manusia juga terbiasa dengan segala hal yang terbalik, tak sepantasnya, dan kacau balau, dimana pelaku kebobrokan justru tertawa bangga dengan kelakuannya, sementara yang baik dan lurus, justru dicemooh. 

Satu kali, Buddha Sakyamuni, ketika masa hidupNya di India, menjelaskan akan adanya satu masa yang disebut satthantarakappa atau zaman pedang yang berlangsung selama tujuh hari.  Dimana kemelaratan menjadi tontonan sehari-hari, kriminalitas meningkat tajam, manusia terbiasa untuk saling membunuh dan usia hidup yang makin pendek. 

Begitu buaskah kelak hidup ini? 

Jika mengulas ini, seolah kita membuat jarak antara masa lalu dengan masa sekarang lalu masa sekarang dengan masa akan datang. Kita membuat fase yang (seolah) berdiri sendiri antara satu kejadian dengan kejadian lain. Padahal, bukankah semuanya masih satu untaian, bahwa apa yang kita lakukan kemarin sangat berpengaruh pada saat ini dan esok? 

Akh, kepintaran manusia kadang membuat kita mampu mendangkalkan yang sepatutnya. Yang penting hidup jadi enak dan seenaknya… ! 



Thursday, April 3, 2014

KONTROVERSI YANG TAK PERNAH USAI…


Hidup ini penuh kontroversi yang tak pernah usai. Termasuk itu untuk orang yang sudah mati....
Tidak ada yang menyangka, kepergian Jim Morrison, penyair dan vokalis ekstentrik grup rock, The Doors, yang terkenal sejak era 60-an hingga sekarang, untuk berlibur ke Paris, adalah untuk melengkapi perjalanan hidupnya menuju alam baka.
Morrison pamit saat ia dan teman-teman se-grupnya baru saja usai merampungkan album mereka, L.A. Woman, di sebuah studio, berlokasi di Santa Monica Boulevard, pada musim gugur 1971. Kepada sobatnya, Ray Manzarek – yang juga pemain keyboard The Doors, ia mengatakan butuh istirahat dalam waktu yang tak dapat dipastikan.
Namun kepergiannya kemudian menjadi menghebohkan setelah Morrison ditemukan tak bernyawa di

Wednesday, April 2, 2014

RUMAH DAN KATA-KATA


Sejak  mengenal aksara, ribuan kata telah kita tulis, di buku catatan, notebook, sobekan kertas, atau mungkin berupa grafiti di dinding-dinding… Akan jadi apakah semua kata-kata itu?
R.William Liddle, seorang guru besar untuk kajian Indonesia dari Ohio State University, pernah mengutip kalimat dari penulis berkebangsaan Yahudi, Isaac Bashevis Singer, bahwa  every writer has an address,  dalam pengantar buku Catatan Pinggir 3 karya Goenawan Mohamad (Grafiti, 2005), yang diberi arti bahwa setiap penulis memiliki

Tuesday, April 1, 2014

KEKUASAAN TAK MAMPU MEMBUNGKAM SEGALANYA…


Sejarah mencatat kelamnya Hitler, Mussolini, Saddam Husein, Idi Amin, atau Klu Klux Klan dalam memperlakukan sesamanya. Nyawa manusia tak berharga ditangan mereka. Kekejaman menjadi wajar dan teror menjadi alat ampuh untuk membungkam orang lain. Secara fisik, manusia dirundung takut. Dan kita tahu, Hitler dan kroninya terjebak dalam spirit ego maniak-nya yang nyaris sinting. Kelihatannya menyenangkan ketika orang lain menjadi ‘patuh’ dan ‘bungkam’.    

Hitler dan yang lainnya (mungkin) terlalu menyepelekan apa yang

Monday, March 31, 2014

Pengantar dari Admin

Selamat datang di Blog Gado-Gado Inspirasi!!

Tujuan dibuatnya blog ini adalah sebagai sarana untuk berbagi dan menuangkan ide, perspektif, pengetahuan, dan lain-lain yang diharapkan berguna bagi para pengunjung blog ini. Selesai membaca, diharapkan untuk meninggalkan komentar untuk masukan dan ide bagi penulis/kontributor di blog ini. Ini juga sebagai penyemangat bagi kami dalam menulis artikel ke depannya.

Sesuai dengan filosofi pembuatan blog ini "Gado-Gado Inspirasi" yang berasal dari kata Gado-Gado, makanan khas tradisional Indonesia yang sudah sangat merakyat yang bisa dinikmati di warung kaki lima hingga hotel bintang lima.

Gado-gado itu merupakan campuran dari banyak unsur. Gak cuma sayur, tapi juga ada tempe dan telur plus kerupuk. Harganya juga murah dan merakyat. Walaupun murah, tapi bukan makanan murahan, karena merupakan makanan vegetarian yang sangat berguna bagi tubuh kita, tanpa kandungan hewani. Hewani dalam hal ini adalah "tanpa mengandung unsur kekerasan". Demikian juga dengan karya/tulisan di blog ini, tidak mengandung unsur kekerasan sama sekali. 

Gado-Gado juga mengandung gizi tinggi serta bahan bakunya alami alias bukan pabrikan. Artinya adalah bahwa artikel postingan di blog ini adalah murni hasil pemikiran penulis/kontributor yang berasal dari sumber bacaan yang dibaca oleh penulis yang dipadukan dengan perspektif/pemikiran penulis sehingga menghasilkan karya tulisan yang benar-benar orisinil. Bukan hasil copas di sana-sini.

Itulah sekilas filosofis blog ini sehingga kami namakan "Gado-Gado Inspirasi" yang merupakan inspirasi dari penulis yang nanti semoga bisa juga menjadi inspirasi bagi para pembacanya.

Demikianlah blog ini, kami buat, semoga bermanfaat bagi semuanya. Terima kasih.