Thursday, April 17, 2014

IMAJINASI

Adakah yang menakutkan dari sebuah imajinasi?


Mungkin pertanyaan ini juga akan terlontar ketika kita melihat bentangan kalimat yang berbunyi “tertawalah sebelum tertawa itu dilarang” yang kerap tampil dalam opening film-film komedi  layar lebar yang dibintangi Warkop DKI pada era 80-90an.  Adakah yang menakutkan dari sebuah kelucuan?

Pertanyaan ini pula yang membuat saya selalu merinding dan merasa tercekam. Saya tak kuasa membayangkan kelak pada suatu masa, dimana akan terjadi bahwa  untuk tertawa pun, manusia akan ‘diatur’ oleh sebuah kekuasaan… Ekspresi akan ditindas dan diarahkan sesuai kebutuhan yang kuat.
Tetapi imajinasi tidak sama dengan kelucuan. Namun boleh dikatakan, kelucuan lahir dari proses imajinasi.

Lantas, seperti apa imajinasi itu?

Imajinasi adalah suatu yang latent, yang tersembunyi dalam benak manusia. Mungkin awalnya ia merupakan bentukan dari alam bawah sadar manusia. Lalu kemudian berontak menjadi kesadaran yang kemudian mengejawantah dalam bentuk pikiran.
Imajinasi kadang liar dan bebas menjangkau apa yang (mungkin)  dianggap tabu. Jika sudah begini, imajinasi menjadi meresahkan.

Pelukis abstrak legendaris asal Spanyol, Pablo Picasso (1881-1973) pernah berucap everything you can imagine is real, apapun yang dapat kamu imajinasikan adalah nyata, atau lebih tepat, bisa menjadi nyata.
Copernicus dituduh pembohong alias pengibul ketika memaparkan bahwa pusat tata surya ada pada matahari bukan bumi, dalam karyanya yang termasyur On the Revolutions of the Heavenly Spheres (1543). 
Sampai-sampai Martin Luther, teolog asal Jerman menyebutnya sebagai ‘dungu’. Ia diasingkan. Ia dianggap murtad.
Galileo yang sepakat dengan Copernicus pun kena imbas. Ia  dikenai tahanan rumah oleh penguasa agama saat itu,  sampai ajal menjemputnya.
Namun sejarah membuktikan, Copernicus bukan pengibul alis dungu, teorinya benar. Akhirnya, namanya harum di kemudian hari. Demikian pula Gelileo.
Berabad-abad kemudian, Paus Benediktus XVI merehabilitasi nama Galileo (2008) dan mengakui  bahwa ia adalah seorang ilmuwan.

Melalui imajinasi juga kita bermimpi. John Lennon menyebut ia sebagai pemimpi yang merindukan adanya sebuah ‘negara utopia’, dimana agama dan surga tidak ada. Kebencian hilang, kedamaian dan persatuan kemanusiaan menjadi prinsip.  Ia lalu mengajak orang-orang untuk ikut dalam impiannya  imagine there’s no heaven.. and no religion too.. I hope someday you’ll join us.. and the world is live as one. ..begitu ia  menuliskan impiannya itu dalam lagu Imagine (1971) yang datar tapi monumental. 
Dampaknya, Lennon dianggap anti agama dan juga sesat. Tapi ini kan cuma impian?
Dan imajinasi juga bisa menjadi isyarat. Tentang apa yang akan terjadi.

Enam tahun sesudah Chairil Anwar menggebu-gebu meneriakkan: aku ini binatang jalang dari kumpulan yang terbuang.. aku ingin hidup seribu tahun lagi … (Sajak "Aku" atau "Semangat", ditulis tahun 1943),  penyair bohemian ini akhirnya lebih kalem dalam kedewasaan dan kematangan duniawi dan (mungkin) spiritualnya.
Dalam penderitaan sakitnya, tahun 1949, ia menuliskan puisi indah tapi muram, yang diberi judul  Yang Terempas dan Yang Putus.
Dalam puisi itu ia seolah membayangkan suatu tempat untuk dirinya kelak, sebagaimana katanya:
Di karet, di karet (daerah y.a.d) sampai juga deru dingin…
Aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang

Memang, tak lama sesudah menulis puisi ini,  Chairil meninggal dunia dalam usia 27 tahun. Jasadnya dimakamkan di TPU Karet, yang katanya, merupakan daerah yang akan datang.
Kalau sudah begitu, apakah benar kalau  imajinasi itu berbahaya?





No comments:

Post a Comment