Adakah
yang menakutkan dari sebuah imajinasi?
Pertanyaan
ini pula yang membuat saya selalu merinding dan merasa tercekam. Saya tak kuasa
membayangkan kelak pada suatu masa, dimana akan terjadi bahwa untuk tertawa pun, manusia akan ‘diatur’ oleh
sebuah kekuasaan… Ekspresi akan ditindas dan diarahkan sesuai kebutuhan yang
kuat.
Tetapi
imajinasi tidak sama dengan kelucuan. Namun boleh dikatakan, kelucuan lahir
dari proses imajinasi.
Lantas,
seperti apa imajinasi itu?
Imajinasi
adalah suatu yang latent, yang tersembunyi dalam benak manusia. Mungkin awalnya
ia merupakan bentukan dari alam bawah sadar manusia. Lalu kemudian berontak
menjadi kesadaran yang kemudian mengejawantah dalam bentuk pikiran.
Imajinasi kadang liar dan bebas menjangkau apa
yang (mungkin) dianggap tabu. Jika sudah
begini, imajinasi menjadi meresahkan.
Pelukis
abstrak legendaris asal Spanyol, Pablo Picasso (1881-1973) pernah berucap everything you can imagine is real,
apapun yang dapat kamu imajinasikan adalah nyata, atau lebih tepat, bisa
menjadi nyata.
Copernicus
dituduh pembohong alias pengibul ketika memaparkan bahwa pusat tata surya ada
pada matahari bukan bumi, dalam karyanya yang termasyur On the Revolutions of the Heavenly
Spheres (1543).
Sampai-sampai
Martin Luther, teolog asal Jerman menyebutnya sebagai ‘dungu’. Ia diasingkan.
Ia dianggap murtad.
Galileo
yang sepakat dengan Copernicus pun kena imbas. Ia dikenai tahanan rumah oleh penguasa agama
saat itu, sampai ajal menjemputnya.
Namun
sejarah membuktikan, Copernicus bukan pengibul alis dungu, teorinya benar.
Akhirnya, namanya harum di kemudian hari. Demikian pula Gelileo.
Berabad-abad
kemudian, Paus Benediktus XVI merehabilitasi nama Galileo (2008) dan
mengakui bahwa ia adalah seorang
ilmuwan.
Melalui
imajinasi juga kita bermimpi. John Lennon menyebut ia sebagai pemimpi yang
merindukan adanya sebuah ‘negara utopia’, dimana agama dan surga tidak ada.
Kebencian hilang, kedamaian dan persatuan kemanusiaan menjadi prinsip. Ia lalu mengajak orang-orang untuk ikut dalam
impiannya imagine there’s no heaven.. and no religion
too.. I hope someday you’ll join us.. and the world is live as one. ..begitu
ia menuliskan impiannya itu dalam lagu Imagine (1971) yang datar tapi
monumental.
Dampaknya,
Lennon dianggap anti agama dan juga sesat. Tapi ini kan cuma impian?
Dan
imajinasi juga bisa menjadi isyarat. Tentang apa yang akan terjadi.
Enam
tahun sesudah Chairil Anwar menggebu-gebu meneriakkan: aku ini binatang jalang dari kumpulan yang terbuang.. aku ingin hidup
seribu tahun lagi … (Sajak "Aku" atau "Semangat",
ditulis tahun 1943), penyair bohemian
ini akhirnya lebih kalem dalam kedewasaan dan kematangan duniawi dan (mungkin)
spiritualnya.
Dalam
penderitaan sakitnya, tahun 1949, ia menuliskan puisi indah tapi muram, yang
diberi judul Yang Terempas dan Yang Putus.
Dalam
puisi itu ia seolah membayangkan suatu tempat untuk dirinya kelak, sebagaimana
katanya:
Di karet, di karet (daerah y.a.d)
sampai juga deru dingin…
Aku berbenah dalam kamar, dalam
diriku jika kau datang
Memang,
tak lama sesudah menulis puisi ini,
Chairil meninggal dunia dalam usia 27 tahun. Jasadnya dimakamkan di TPU
Karet, yang katanya, merupakan daerah yang akan datang.
Kalau
sudah begitu, apakah benar kalau
imajinasi itu berbahaya?
No comments:
Post a Comment