Manusia boleh dikatakan makhluk yang super
aneh. Dengan keberadaannya sebagai makhluk yang (katanya) berakal budi, ia
justru kerap menggugat keberadaannya tersebut, justru dengan menngunakan akal
budi yang dimilikinya tersebut.
Awal tahun 60-an, Robert Zimmerman, atau
lebih terkenal sebagai Bob Dylan menghentak dunia melalui karya musik folk-nya yang berjudul Blowin’
in the Wind. Sembari memetik senar
pada gitar kopong dan kadang menyelinginya dengan tiupan harmonika yang
tergantung di dada, ia dengan lirih mempertanyakan semacam kegelisahan dalam
dirinya: How many roads must a man walk down, before you call him a man? seberapa
banyak jalan yang harus ditempuh sehingga seseorang dapat kamu sebut sebagai
laki-laki?
Apakah menjadi laki-laki sangat tergantung
pada seberapa jauh ia menapakinya? Akh, anggap saja Dylan lagi galau…
Pertanyaan yang gelisah ini pula yang
kemudian menyeret filsuf Socrates pada akhir hidup yang tragis. Konon, Socrates punya sifat yang
unik. Ia kerap mengajukan pertanyaan tentang apa “hal yang benar” dan “hal yang
baik”, pada setiap orang yang dijumpainya di jalan. Mungkin, sebagai seorang
yang cinta kepada kebijaksanaan, Socrates melihat apa yang yang ada di
sekitarnya bukan sebuah tanda titik, tetapi penuh dengan kemungkinan-kemungkinan
yang bisa berubah, dinilai, lalu digugat, dari sudut pandang moralitas sebagai
manusia.
Ternyata apa yang dilakukan Socrates,
diam-diam menjadi menakutkan bagi
penguasa. Mungkin, para penguasa khawatir, kemapanan akan goyah bila terus
digerogoti dengan pertanyaan-pertanyaan yang membuat orang-orang berpikir dan
(takutnya) menjadi kritis. Kekuasaan tak membutuhkan dunia yang dinamis, dimana
pemikiran yang satu akan dipertimbangkan oleh pemikiran yang lain. Kekuasaan
itu menuntut kepatuhan dan kepatuhan dalam bentuk riel (mungkn menurut kaum
penguasa) adalah diam.
Maka secara rahasia disusun sebuah skenario
jahat dimana Socrates ditangkap, diadili, dan kemudian dihukum mati oleh
penguasa Yunani kuno. Ia harus meminum cawan yang berisi racun. Kita tahu
Socrates akhirnya mati. Apakah penguasa bergembira secara kekal akan
kematiannya? Kita tahu, murid Socrates bernama Plato, kemudian meneruskan
pemikiran gurunya tersebut.
Menjadi manusia memang unik. Dalam eksistensinya, ia meragu. Ia mencari
dan terus mencari, entah sampai kappa. Sungguh sebuah dunia yang paradoks. Tak
heran Rene Descartes menyelutuk, cogito
ergo sum, aku berpikir maka aku ada. Manusia yang berpikirlah, yang
(justru) merasakan eksistensinya.
Namun banyak berpikir, bertanya, dan menggugat
juga bukan pilihan yang nikmat bagi sebagian orang. Sehingga penyair Amerika
Latin, Pablo Neruda, mengeluh dalam satu syairnya: sucede que me canso de ser hombre, kok aku lelah menjadi manusia?
Mungkin karena ini pula, Dylan cepat-cepat
mengakhiri kegelisahannya dalam Blowin in the wind dengan menutupnya
melalui kalimat: the answer my friend, is blowing in the wind, the answer is blowing in
the wind… (Jawabnya, sahabat, berhembus bersama angin, ya, berhembus
bersama angin)..
Atau bak kata Ebiet G. Ade, tanyakan saja
pada rumput yang bergoyang….
No comments:
Post a Comment