Saturday, April 5, 2014

KEGELISAHAN DAN GUGATAN…


Manusia boleh dikatakan makhluk yang super aneh. Dengan keberadaannya sebagai makhluk yang (katanya) berakal budi, ia justru kerap menggugat keberadaannya tersebut, justru dengan menngunakan akal budi yang dimilikinya tersebut. 
Awal tahun 60-an, Robert Zimmerman, atau lebih terkenal sebagai Bob Dylan menghentak dunia melalui karya musik folk-nya yang berjudul  Blowin’ in the Wind.  Sembari memetik senar pada gitar kopong dan kadang menyelinginya dengan tiupan harmonika yang tergantung di dada, ia dengan lirih mempertanyakan semacam kegelisahan dalam dirinya:  How many roads must a man walk down, before you call him a man? seberapa banyak jalan yang harus ditempuh sehingga seseorang dapat kamu sebut sebagai laki-laki?
Apakah menjadi laki-laki sangat tergantung pada seberapa jauh ia menapakinya? Akh, anggap saja Dylan lagi galau…
Pertanyaan yang gelisah ini pula yang kemudian menyeret filsuf Socrates pada akhir hidup  yang tragis. Konon, Socrates punya sifat yang unik. Ia kerap mengajukan pertanyaan tentang apa “hal yang benar” dan “hal yang baik”, pada setiap orang yang dijumpainya di jalan. Mungkin, sebagai seorang yang cinta kepada kebijaksanaan, Socrates melihat apa yang yang ada di sekitarnya bukan sebuah tanda titik, tetapi penuh dengan kemungkinan-kemungkinan yang bisa berubah, dinilai, lalu digugat, dari sudut pandang moralitas sebagai manusia.
Ternyata apa yang dilakukan Socrates, diam-diam  menjadi menakutkan bagi penguasa. Mungkin, para penguasa khawatir, kemapanan akan goyah bila terus digerogoti dengan pertanyaan-pertanyaan yang membuat orang-orang berpikir dan (takutnya) menjadi kritis. Kekuasaan tak membutuhkan dunia yang dinamis, dimana pemikiran yang satu akan dipertimbangkan oleh pemikiran yang lain. Kekuasaan itu menuntut kepatuhan dan kepatuhan dalam bentuk riel (mungkn menurut kaum penguasa) adalah diam.
Maka secara rahasia disusun sebuah skenario jahat dimana Socrates ditangkap, diadili, dan kemudian dihukum mati oleh penguasa Yunani kuno. Ia harus meminum cawan yang berisi racun. Kita tahu Socrates akhirnya mati. Apakah penguasa bergembira secara kekal akan kematiannya? Kita tahu, murid Socrates bernama Plato, kemudian meneruskan pemikiran gurunya tersebut. 
Menjadi manusia memang unik.  Dalam eksistensinya, ia meragu. Ia mencari dan terus mencari, entah sampai kappa. Sungguh sebuah dunia yang paradoks. Tak heran Rene Descartes menyelutuk, cogito ergo sum, aku berpikir maka aku ada. Manusia yang berpikirlah, yang (justru) merasakan eksistensinya. 
Namun banyak berpikir, bertanya, dan menggugat juga bukan pilihan yang nikmat bagi sebagian orang. Sehingga penyair Amerika Latin, Pablo Neruda, mengeluh dalam satu syairnya: sucede que me canso de ser hombre, kok aku lelah menjadi manusia?
Mungkin karena ini pula, Dylan cepat-cepat mengakhiri kegelisahannya dalam Blowin in the wind dengan menutupnya melalui  kalimat: the answer my friend, is blowing in the wind, the answer is blowing in the wind… (Jawabnya, sahabat, berhembus bersama angin, ya, berhembus bersama angin)..
Atau bak kata Ebiet G. Ade, tanyakan saja pada rumput yang bergoyang….



No comments:

Post a Comment