Wednesday, April 2, 2014

RUMAH DAN KATA-KATA


Sejak  mengenal aksara, ribuan kata telah kita tulis, di buku catatan, notebook, sobekan kertas, atau mungkin berupa grafiti di dinding-dinding… Akan jadi apakah semua kata-kata itu?
R.William Liddle, seorang guru besar untuk kajian Indonesia dari Ohio State University, pernah mengutip kalimat dari penulis berkebangsaan Yahudi, Isaac Bashevis Singer, bahwa  every writer has an address,  dalam pengantar buku Catatan Pinggir 3 karya Goenawan Mohamad (Grafiti, 2005), yang diberi arti bahwa setiap penulis memiliki
rumah. Saya suka kalimat itu dan selalu berusaha tidak melupakannya, karena saya sendiri gemar mencatat apapun yang terlintas dalam benak kepala saya. 
Jika penulis memproduksi kata-kata, apakah benar ia akan memiliki rumah? Tentu saja, saya paham, kata ‘rumah’ di sini adalah sebuah metafora ….
Mendadak, saya teringat akan catatan-catatan permenungan (atau mungkin gugatan?) dari kalimat-kalimat yang pernah ditulis oleh Ahmad Wahib, wartawan muda Majalah Tempo, dalam bilik kos-nya yang sederhana. Ia menulis tanpa ia menyadari bahwa kelak tulisan tangannya di atas kertas buku tulis sederhana itu akan dibaca oleh begitu banyak orang.  Saya membayangkan ia menulis dalam kesendirian dan kesunyian diterangi cahaya bola lampu yang redup… Dengan sebuah pena, bukan keyboards komputer yang praktis. Ia bergulat dengan semua ini secara intens.
Sampai pada satu ketika, pada tanggal 31 Maret malam-tahun 1973, pemuda bersahaja tapi berpikiran luas ini pulang dari kantornya, ditabrak sepeda motor berkecepatan tinggi oleh orang tak dikenal, di jalan Senen Raya-Kalilio, Jakarta. Karena lukanya yang parah, Wahib, pemuda asal Madura ini,  akhirnya meninggal dunia dalam perjalanan menuju RSUP.
Entah bagaimana,  beberapa teman dekatnya mengingat dan tahu bahwa Wahib rajin menulis. Tulisannya terangkum dalam banyak buku tulis sederhana.  Wahib berminat membahas banyak hal, terutama tentang spiritual Islam, politik, gagasan pluralisme, dan juga kehidupan sehari-harinya. Buku-buku tulis tersebut segera di’aman’kan dan diboyong keluar dari  rumah kos Wahib yang sederhana. 
Seluruh tulisan tangan Wahib dalam buku tulis itu kemudian diketik dan dirapikan oleh sahabat dekatnya bernama Mufti Madjidi, dan  atas prakarsa Ismed Natsir dan Djohan Effendi – yang kelak dikenal sebagai tokoh penggerak lintas agama,  diterbitkan menjadi buku berjudul  Pergolakan Pemikiran Islam  yang diberi kata pengantar oleh H.A.Mukti Ali (LP3ES, 1983). 
Setelah lama meninggal, buku ini diterbitkan pertama kali tahun 1983 dan mulai saat itu, Ahmad Wahib,  kemudian mendapat rumah baru, yaitu “pemikir Islam modern” dan rumah itu dimilikinya sampai sekarang, meski ia tidak lagi hidup secara fisik di dunia fana ini.
Dari kisah ini, saya pikir, kutipan bahwa every writer has an address  ada benarnya.




No comments:

Post a Comment