Sejak mengenal aksara, ribuan kata telah kita
tulis, di buku catatan, notebook,
sobekan kertas, atau mungkin berupa grafiti di dinding-dinding… Akan jadi
apakah semua kata-kata itu?
R.William
Liddle, seorang guru besar untuk kajian Indonesia dari Ohio State University,
pernah mengutip kalimat dari penulis berkebangsaan Yahudi, Isaac Bashevis
Singer, bahwa every writer has an address,
dalam pengantar buku Catatan
Pinggir 3 karya Goenawan Mohamad (Grafiti, 2005), yang diberi arti bahwa
setiap penulis memiliki
rumah. Saya suka kalimat itu dan selalu berusaha tidak melupakannya, karena saya sendiri gemar mencatat apapun yang terlintas dalam benak kepala saya.
rumah. Saya suka kalimat itu dan selalu berusaha tidak melupakannya, karena saya sendiri gemar mencatat apapun yang terlintas dalam benak kepala saya.
Jika
penulis memproduksi kata-kata, apakah benar ia akan memiliki rumah? Tentu saja,
saya paham, kata ‘rumah’ di sini adalah sebuah metafora ….
Mendadak,
saya teringat akan catatan-catatan permenungan (atau mungkin gugatan?) dari
kalimat-kalimat yang pernah ditulis oleh Ahmad Wahib, wartawan muda Majalah
Tempo, dalam bilik kos-nya yang sederhana. Ia menulis tanpa ia menyadari bahwa
kelak tulisan tangannya di atas kertas buku tulis sederhana itu akan dibaca
oleh begitu banyak orang. Saya
membayangkan ia menulis dalam kesendirian dan kesunyian diterangi cahaya bola
lampu yang redup… Dengan sebuah pena, bukan keyboards
komputer yang praktis. Ia bergulat dengan semua ini secara intens.
Sampai
pada satu ketika, pada tanggal 31 Maret malam-tahun 1973, pemuda bersahaja tapi
berpikiran luas ini pulang dari kantornya, ditabrak sepeda motor berkecepatan
tinggi oleh orang tak dikenal, di jalan Senen Raya-Kalilio, Jakarta. Karena
lukanya yang parah, Wahib, pemuda asal Madura ini, akhirnya meninggal dunia dalam perjalanan
menuju RSUP.
Entah
bagaimana, beberapa teman dekatnya
mengingat dan tahu bahwa Wahib rajin menulis. Tulisannya terangkum dalam banyak
buku tulis sederhana. Wahib berminat
membahas banyak hal, terutama tentang spiritual Islam, politik, gagasan
pluralisme, dan juga kehidupan sehari-harinya. Buku-buku tulis tersebut segera
di’aman’kan dan diboyong keluar dari
rumah kos Wahib yang sederhana.
Seluruh
tulisan tangan Wahib dalam buku tulis itu kemudian diketik dan dirapikan oleh
sahabat dekatnya bernama Mufti Madjidi, dan
atas prakarsa Ismed Natsir dan Djohan Effendi – yang kelak dikenal
sebagai tokoh penggerak lintas agama,
diterbitkan menjadi buku berjudul
Pergolakan Pemikiran Islam yang diberi kata pengantar oleh H.A.Mukti Ali
(LP3ES, 1983).
Setelah
lama meninggal, buku ini diterbitkan pertama kali tahun 1983 dan mulai saat
itu, Ahmad Wahib, kemudian mendapat
rumah baru, yaitu “pemikir Islam modern” dan rumah itu dimilikinya sampai
sekarang, meski ia tidak lagi hidup secara fisik di dunia fana ini.
Dari
kisah ini, saya pikir, kutipan bahwa every
writer has an address ada benarnya.
No comments:
Post a Comment