Friday, April 18, 2014

CINTA


Benarkah cinta membuat manusia ingin terlihat sempurna?
Saya punya seorang teman cowok yang sedang terkena panah Dewi Amor. Rupa-rupanya ia lagi kepincut dan tengah menjalin hubungan dengan seorang gadis manis.
Serentetan perubahan pun terjadi. Teman yang tadinya suka mood-moodan dalam melakukan mengerjakan sesuatu, mendadak rajin dan terlihat tangguh. Ia setia menemani dan siaga memberikan fasilitas ‘antar jemput’ untuk sang gadis idaman. Hujan diterobos, terik pun diabaikan. Meski jadi sering masuk angin, teman saya berkilah - katanya ini merupakan satu bentuk pengorbanan. Wow!



Kebiasaan merokok ditanggalkan (karena sang gadis pujaan tidak suka dengan laki-laki perokok). Untuk mengganti rasa mulut yang asam karena tak terkena sedotan nikotin, ia rajin mengulum permen.
Teman yang tadinya tak doyan bangun pagi, mendadak suka olahraga. Ia mulai jogging ataupun mendaftar masuk sebagai member club di sebuah pusat kebugaran untuk menguatkan otot dan membakar gelambir lemak di sekujur tubuh. Biar pede mendampingi sang pujaan hati, ungkapnya pada saya, yang cuma manggut-manggut karena ikut senang.  
Jika dulu rada jorok dan cuek, eh-sekarang rajin memperhatikan dan memanjakan tubuh. Wajah dibersihin, rambut dipangkas rapi, mau tidur tak lupa gosok gigi, dan di dalam tas kerjanya, tak pernah  lupa stand by dengan cairan penyegar kumur mulut. Walahh, saya sampai terkekeh melihat perubahan si teman tersebut.
Si teman mulai rajin membolak-balik tabloid terutama tentang life style. Memelototin pusat-pusat jajanan kuliner untuk dimasukkan dalam agenda tongkrongan akhir pekan. Bahkan, ia mulai mikir untuk menabung.  Katanya untuk persiapan masa depan.. !!!

Tapi, Tvzi Freeman pernah berucap “anugerah cinta terbesar adalah kemampuan untuk menutup diri dari kenyataan” sebagaimana dikutip oleh Wimar Witoelar dalam buku kecilnya yang menggemaskan, Still More About Nothing (Bentang Budaya, 2011).
Dengan kata lain, selain mendorong kesempurnaan,  cinta juga kerap menghasilkan seni akting yang tak terkalahkan, kepura-puraan, fatamorgana, dan juga kekuasaan.

Masih ingat legenda Tangkuban Perahu, ketika Sangkuriang ngotot ingin menikahi Dayang Sumbi, yang tak lain merupakan ibu kandungnya sendiri? Sangkuriang rela membangun perahu dan telaga dalam sehari semalam, sebagai syarat yang diberikan oleh Dayang Sumbi. Ia melibatkan pasukan jin dan makhluk gaib untuk membantunya. Namun karena matahari keburu terbit, pembuatan perahu dan telaga tak bisa rampung. Cinta Sangkuriang kepada Dayang Sumbi dalam semalam berubah menjadi kemurkaan sehingga ia menendang semuanya dan konon itulah yang menjadi Gunung Tangkuban Perahu sekarang.
Lho, ini kan sebuah dongeng? Tapi, bukankah dongeng juga merupakan proyeksi hitam dan putih kehidupan manusia?            

Cinta ingin terlihat sempurna. Tapi adakah di dunia ini yang sempurna? Tak heran, manusia secara perlahan menyadari ketidaksempurnaan ini, lalu kemudian dihantui resah dan semacam ketakutan. Manusia takut terluka karena cinta.
Dalam lagu When I’m Sixty Four (1967), Beatles juga mengalami perasaan ini. Simak saja liriknya:
When I get older losing my hair
Many years from now
Will you still be sending me a valentine
Birthday greetings, bottle of wine?
If I'd been out till quarter to three
Would you lock the door?
Will you still need me, will you still feed me
When I'm sixty-four?

Rasa cinta berujung pesimistik!

Maka ketika melihat teman yang sedang dimabuk kasmaran tersebut, kalimat Freeman terngiang kembali. Apakah si teman tengah menyembunyikan sebuah kenyataan demi sebuah cinta? Atau ini memang sebuah perubahan yang monumental, mengakar dan long term?

Mungkin karena ini, dengan imajinasi-nya yang kreatif,   manusia membuat mitos. Tentang 
cinta yang abadi, dimana tidak akan ada yang dilukai dan melukai, yang ditinggalkan dan meninggalkan. Cinta yang das sollen, yang ideal, tapi kapan bisa terwujud?

Maka kita suka terpukau hingga menitikkan airmata ketika menyaksikan lakon Romeo dan Juliet, yang setia  sampai ke liang kubur. Atau sekedar iri ketika membaca kisah Sam Pek Eng Tay, ketika mereka menjelma menjadi sepasang kupu-kupu indah…

Tapi kita mungkin geram, ketika sadar bahwa kisah cinta seperti itu cuma ada di dunia imajinasi yang fiksi…

Saya pun kecewa, ketika mendengar kisah cinta  teman dengan sang gadis kandas baru-baru ini. Dan ia kembali pada dirinya dulu: mood-moodan, malas, dan mulai menghisap rokok lagi….. Akh !




No comments:

Post a Comment