Benarkah cinta membuat manusia ingin terlihat
sempurna?
Saya punya seorang teman cowok yang sedang
terkena panah Dewi Amor. Rupa-rupanya ia lagi kepincut dan tengah menjalin
hubungan dengan seorang gadis manis.
Serentetan perubahan pun terjadi. Teman yang
tadinya suka mood-moodan dalam melakukan mengerjakan sesuatu, mendadak rajin
dan terlihat tangguh. Ia setia menemani dan siaga memberikan fasilitas ‘antar
jemput’ untuk sang gadis idaman. Hujan diterobos, terik pun diabaikan. Meski
jadi sering masuk angin, teman saya berkilah - katanya ini merupakan satu
bentuk pengorbanan. Wow!
Kebiasaan merokok ditanggalkan (karena sang
gadis pujaan tidak suka dengan laki-laki perokok). Untuk mengganti rasa mulut
yang asam karena tak terkena sedotan nikotin, ia rajin mengulum permen.
Teman yang tadinya tak doyan bangun pagi,
mendadak suka olahraga. Ia mulai jogging ataupun mendaftar masuk sebagai member
club di sebuah pusat kebugaran untuk menguatkan otot dan membakar gelambir
lemak di sekujur tubuh. Biar pede mendampingi sang pujaan hati, ungkapnya pada
saya, yang cuma manggut-manggut karena ikut senang.
Jika dulu rada jorok dan cuek, eh-sekarang
rajin memperhatikan dan memanjakan tubuh. Wajah dibersihin, rambut dipangkas rapi,
mau tidur tak lupa gosok gigi, dan di dalam tas kerjanya, tak pernah lupa stand
by dengan cairan penyegar kumur mulut. Walahh, saya sampai terkekeh melihat
perubahan si teman tersebut.
Si teman mulai rajin membolak-balik tabloid
terutama tentang life style. Memelototin pusat-pusat jajanan kuliner untuk
dimasukkan dalam agenda tongkrongan akhir pekan. Bahkan, ia mulai mikir untuk
menabung. Katanya untuk persiapan masa
depan.. !!!
Tapi, Tvzi Freeman pernah berucap “anugerah
cinta terbesar adalah kemampuan untuk menutup diri dari kenyataan” sebagaimana
dikutip oleh Wimar Witoelar dalam buku kecilnya yang menggemaskan, Still More About Nothing (Bentang
Budaya, 2011).
Dengan kata lain, selain mendorong
kesempurnaan, cinta juga kerap
menghasilkan seni akting yang tak terkalahkan, kepura-puraan, fatamorgana, dan
juga kekuasaan.
Masih ingat legenda Tangkuban Perahu, ketika
Sangkuriang ngotot ingin menikahi Dayang Sumbi, yang tak lain merupakan ibu
kandungnya sendiri? Sangkuriang rela membangun perahu dan telaga dalam sehari
semalam, sebagai syarat yang diberikan oleh Dayang Sumbi. Ia melibatkan pasukan
jin dan makhluk gaib untuk membantunya. Namun karena matahari keburu terbit,
pembuatan perahu dan telaga tak bisa rampung. Cinta Sangkuriang kepada Dayang
Sumbi dalam semalam berubah menjadi kemurkaan sehingga ia menendang semuanya
dan konon itulah yang menjadi Gunung Tangkuban Perahu sekarang.
Lho, ini kan sebuah dongeng? Tapi, bukankah
dongeng juga merupakan proyeksi hitam dan putih kehidupan manusia?
Cinta ingin
terlihat sempurna. Tapi adakah di dunia ini yang sempurna? Tak heran, manusia
secara perlahan menyadari ketidaksempurnaan ini, lalu kemudian dihantui resah
dan semacam ketakutan. Manusia takut terluka karena cinta.
Dalam lagu When I’m Sixty Four (1967), Beatles juga
mengalami perasaan ini. Simak saja liriknya:
When I get older losing my
hair
Many years from now
Will you still be sending me a valentine
Birthday greetings, bottle of wine?
If I'd been out till quarter to three
Would you lock the door?
Will you still need me, will you still feed me
When I'm sixty-four?
Many years from now
Will you still be sending me a valentine
Birthday greetings, bottle of wine?
If I'd been out till quarter to three
Would you lock the door?
Will you still need me, will you still feed me
When I'm sixty-four?
Rasa cinta berujung pesimistik!
Maka ketika melihat teman yang
sedang dimabuk kasmaran tersebut, kalimat Freeman terngiang kembali. Apakah si
teman tengah menyembunyikan sebuah kenyataan demi sebuah cinta? Atau ini memang
sebuah perubahan yang monumental, mengakar dan long term?
Mungkin karena ini, dengan
imajinasi-nya yang kreatif, manusia membuat mitos. Tentang
cinta yang abadi, dimana tidak
akan ada yang dilukai dan melukai, yang ditinggalkan dan meninggalkan. Cinta
yang das sollen, yang ideal, tapi
kapan bisa terwujud?
Maka kita suka terpukau hingga
menitikkan airmata ketika menyaksikan lakon Romeo dan Juliet, yang setia sampai ke liang kubur. Atau sekedar iri ketika
membaca kisah Sam Pek Eng Tay, ketika mereka menjelma menjadi sepasang
kupu-kupu indah…
Tapi kita mungkin geram, ketika
sadar bahwa kisah cinta seperti itu cuma ada di dunia imajinasi yang fiksi…
Saya pun kecewa, ketika mendengar
kisah cinta teman dengan sang gadis
kandas baru-baru ini. Dan ia kembali pada dirinya dulu: mood-moodan, malas, dan
mulai menghisap rokok lagi….. Akh !
No comments:
Post a Comment