Apakah nisan selalu bermakna
horor?
Gejolak pertanyaan ini yang sering timbul ketika saya
hadir di kompleks pemakaman, biasanya pada musim ziarah atau hadir untuk
memberikan penghormatan terakhir pada
upacara pemakaman anggota keluarga/kenalan.
Deretan batu nisan yang berjejer rapi, diantara
pohon yang teduh seolah memiliki arti lain bagi saya, yang (kebetulan
beruntung) masih hidup. Tidak semata memancing bulu kuduk merinding ngeri.
Nisan biasanya tak bisa lepas dari makam dan makam
identik dengan kematian. Nisan tanpa makam dan jauh rasa gelisah tentang
kematian, mungkin hanya bisa dilihat pada kios-kios pemahat/pengrajin batu
nisan yang siap menerima pesanan nisan dengan segala bentuk dan ukurannya.
Nisan menjadi penanda dari sebuah wadah bagi jasad
(biasanya manusia) yang akan membusuk, mengurai dan puncaknya menyatu menjadi
tanah. Jadi mirip depot recycle yang
mengubah sampah menjadi pupuk kompos. Tapi mungkin manusia keberatan kalau
disebut begini, karena diantara semua makhluk, (kita yakin) manusia adalah
makhluk termulia.
Pada nisan biasanya diberi informasi. Ada nama,
tempat tanggal lahir, atau waktu meninggal. Tak pernah kita membaca daftar
hutang yang pernah dibuat oleh si almarhum saat masih hidup, atau daftar
kekayaan yang berhasil dikumpulkannya semasa hidup. Di pahatan batu nisan,
hidup terasa sederhana.
Bagi saya memandangi jejeran batu nisan juga
seperti sebuah isyarat.
Di gerbang masuk kompleks pemakaman Pastor Jesuit
di Girisonta, Semarang, terpampang dua buah kata dari Bahasa Latin, “Memento
Mori”, yang artinya ingatlah akan kematianmu.
Batu nisan juga pertanda adanya ketidakkekalan.
Bahwa kelak, kehidupan ini kelak harus berhenti atau dihentikan. Tak ada yang
langgeng.
Saya pernah mendengar satu kisah tentang seorang
panglima perang zaman Romawi, yang selalu membawa seorang ajudan. Tugas ajudan
ini sangat sederhana. Bilamana sang panglima perang memenangkan pertempuran,
sang ajudan membisikkan ‘memento mori” ke telinga panglima. Dan panglima seolah
kembali ditarik pada satu kesadaran bahwa kematian itu sungguh dekat dan setia.
Bisikan ini menjadi semacam pencerahan bagi sang
panglima, bahwa setiap kemenangan bukanlah kemenangan sejati, karena kemenangan
terbesar sekalipun tetap akan tunduk pada kematian. Mungkin begitu inti kisah
tersebut.
Tapi hidup tak selamanya membutuhkan penanda
kematian…
Sewaktu masih kanak-kanak, saya pernah membaca
biografi komponis Austria terkenal yang dianggap jenius sejak usia lima tahun,
Wolfgang Amadeus Mozart (1756-1791). Yang buat saya terkesima bukan
karya-karyanya, melainkan akhir kisah hidupnya yang tragis.
Mozart meninggal dalam usia muda. Menjelang
detik-detik ajalnya, ia menggarap komposisi Requiem,
misa kematian, yang dipesan seorang laki-laki misterius, yang justru tak pernah
datang menagih karya tersebut. Karya tersebut tak pernah selesai, ketika Mozart
menghembuskan nafas terakhirnya.
Misa kematian itu juga yang mengiringi persemayaman
jasadnya saat itu.
Proses pemakaman Mozart adalah pemakaman yang
menyedihkan. Sang isteri yang juga tengah sakit, tidak bisa mengantar jasad
sang suami untuk terakhir kali.
Peti matinya diusung oleh para pesuruh di tengah
cuaca buruk, untuk dimakamkan di kompleks pemakaman umum biasa. Upacara penguburan
begitu saja dan selesai.
Selang beberapa waktu kemudian, tak ada yang ingat
lagi tentang letak persis makam Mozart. Mungkin terhimpit dengan makam-makam
baru. Dan sampai kini makamnya tak pernah jelas lokasinya. Tapi tanpa nisan,
Mozart masih dikenang..
Di Indonesia, kita mengenal Sjudanco Suprijadi
(menteri pertahanan & keamanan pertama RI), pemimpin PETA yang memberontak
kepada Jepang atau Otto Iskandar Dinata, tokoh nasionalis asal Banten. Keduanya
dipastikan telah meninggal dengan jasad yang juga tak jelas dimana berada.
Tiada makam, hanya serpihan kenangan yang makin tercerai berai seiring dengan
berlalunya waktu. Dan sejarah mencatat, Suprijadi dan Otto Iskandar Dinata
dikenang sebagai patriot.
Mereka yang berkarya tak butuh nisan. Karya yang
dihasilkan adalah nisan yang abadi, langgeng dan masih diperbincangkan
ketimbang menjadi nisan yang perlahan tua, pudar dan tertimbun dalam semak
belukar, terlupakan !
Namun pernah pula terdengar kisah unik. Tentang seorang
tokoh kaya yang meninggal, sesuai amanatnya, lantas dalam proses pemakamannya
diberangkatkan tujuh peti mati sekaligus, yang mana hanya satu yang berisi
jasad. Demikan pula lokasi pemakamannya, disiapkan tujuh liang lahat, tujuh
nisan berikut makamnya.
Tak ada yang tahu persis dalam liang mana yang
benar-benar berisi jasad. Alhasil, keluarga atau kerabat yang kepingin
berziarah, ketujuh makam ini harus disambangi satu persatu. Si juragan kaya
mungkin punya rasa humor yang bagus atau juga kepingin memproduksi mitos, bahwa
kematian tak selamanya horor tapi juga jahil.
Nah kalau seperti ini, penting atau tidaknya nisan,
menjadi relatif. Tapi bukannya hidup ini juga penuh dengan hal-hal yang
relatif?
Mungkin yang tak relatif adalah sakratul maut. Maka,
selalulah untuk mengingat bahwa kita kelak akan mati. Sebagaimana pesan
terkenal pemikir ekonomi Inggris, John Maynard Keynes (1883-1946), in the long run – we are all dead.
Memento mori,
ingatlah kematianmu…..
No comments:
Post a Comment